Sekilas tentang Kakao

Tinjauan Umum tentang Kakao (Theobroma cacao L.)
Kata cokelat berasal dari xocoatl (bahasa suku Aztec) yang berarti minuman pahit (Anonymousa, 2006). Sedangkan Bapak nomenklatur botani, Carolus Linnaeus telah memberi nama genus dari tanaman kakao Theobroma cacao, yaitu Theobroma yang berarti makanan dari dewa (Anonymousb, 2006).
Cokelat dihasilkan dari pohon kakao (Theobroma cacao) yang diperkirakan mula-mula tumbuh di daerah amazon utara sampai ke Amerika Tengah . Kakao sangat penting dalam kebudayaan Mesoamerika masa itu, yaitu suku Maya, Toltec, dan Aztec. Diperkirakan kebiasaan minum coklat suku Maya dimulai sekitar tahun 450 SM – 500 SM (Anonymousc, 2006).
Kakao diperkenalkan ke Eropa, tepatnya di Spanyol , pertama kali oleh Christopher Columbus sekitar tahun 1502 sepulangnya ia dari pelayaran terakhirnya di kepulauan Karibia. Dikarenakan manfaat dan flavornya yang khas, cokelat menyebar dengan cepat di Eropa (Anonymousd, 2006). Sepanjang abad ke 17 , coklat menyebar di antara kaum elite Eropa, kemudian lewat proses yang demokratis harganya menjadi cukup murah, dan pada akhir abad itu menjadi minuman yang dinikmati oleh kelas pedagang (Anonymous c, 2006).
Semua coklat Eropa dikonsumsi sebagai minuman dan baru pada tahun 1847 ada coklat padat (Anonymousc, 2006). Dalam perkembangannya coklat tidak hanya menjadi minuman tetapi juga menjadi snack yang disukai anak-anak, remaja, maupun orang dewasa (Anonymousa, 2006).
Tanaman kakao dapat tumbuh subur dan berbuah di daerah tropis. Terletak antara 20°LU – 20°LS dengan ketinggian 1-600 m dari permukaan laut, tetapi kadang-kadang juga masih bisa tumbuh pada ketinggian 900 m dari permukaan laut. Tanaman kakao tidak tahan terhadap kekeringan yang panjang, curah hujan yang dibutuhkan adalah 1600 – 3000 mm per tahun. Suhu harian yang baik untuk pertumbuhan adalah 24-28°C dengan kelembaban 80% (Sunanto, 1992).
Tanaman ini berbunga sepanjang tahun. Jumlah bunga kakao mencapai 500–12000 bunga/pohon/tahun, tetapi jumlah buah batang yang dihasilkan hanya sekitar 1%. Penyeburkan bunga kakao dibantu oleh serangga Farcipomiya spp (Sunanto, 1992).
Klasifikasi tanaman kakao adalah sebagai berikut (Anonymousc, 2006):
Kingdom : Plantae (Plants)
Subkingdom : Tracheobionta (Vascular plants)
Superdivison : Spermatophyta (Seed plants)
Division : Magnoliophyta (Dicotyledon)
Class : Magnoliopsida (Dycotyledons)
Subclass : Dilleniidae
Order : Malvales
Family : Sterculiaceae
Genus : Theobroma L.
Species : Theobroma cacao L.
Umumnya tanaman kakao dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu :
· Jenis Criollo
Nama lain untuk jenis Criollo adalah cokelat Mulia atau Fine Flavor atau Choiced Cocoa atau Edel Cocoa. Buahnya bewarna merah atau hijau, kulit buahnya tipis berbintik-bintik kasar dan lunak. Biji buahnnya berbentuk bulat telur dan berukuran besar denagn kotiledon bewarna putih pada waktu basah (Sunanto, 1992).
Bagi produsen coklat , warna kotiledon atau nib adalah pembeda utama antara jenis Criollo dan Forestero. Criollo mempunyai nib bewarna putih dan jenis ini adalah satu-satunya jenis yang diolah pada awalnya. Coklat yang dibuat dari Criollo mempunyai warna sangat coklat mengkilap seperti susu coklat dan mempunyai flavor khas coklat yang sedap. Dengan mencium flavornya saja dapat ditentukan jenis coklatnya. Karena mutunya yang sangat baik. Criollo dikenal sebagai kakao kualitas superior. Namun kakao jenis ini mempunyai kelemahan yaitu pertumbuhannya yang kurang cepat disbanding Forastero dan sifatnya yang rentan terhadap penyakit tanaman (Hancock, 1997).
Ada dua jenis tanaman kakao selain Criollo dengan nib bewarna mengkilat. Yaitu jenis catongo dari Brazil dan jenis klon Djati Renggo (DR) atau dikenal dengan nama Java Criollo. Kedua jenis yang mirip Criollo tersebut adalah mutan dimana Catongo berasal dari Forastero dan klon Djati Renggo berasal dari Trinitario (Hancock, 1997).
· Jenis Forastero
Jenis ini menghasilkan biji coklat yang mutunya sedang atau Bulk cocoa atau dikenal sebagai Ordinary cocoa. Buahnya bewarna hijau dan kulitnya tebal. Biji buahnya tipis atau gepeng dan kotiledonnya bewarna ungu pada waktu basah (Sunanto, 1992). Kako jenis Forastero mengambil sekitar 95% dari hasil panen dunia (Hancock, 1997).
· Jenis Trinitario
Trinitario menghasilkan biji yang termasuk Fine Flavour dan ada juga yang Bulk Cocoa. Buahnya bewarna hijau atau merah dan bentuknya bermacam-macam (Sunanto, 1992). Awal mulanya jenis Trinitario dinyatakan sebagai hasil hibridisasi antara Forastero dan Criollo. Bagaimanapun, fakta menunjukkan bahwa jenis Trinitario relativ mendekati Criollo (Hancock, 1997).
Perbedaan fisik antara kakao mulia dan kakao landak dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Tabel 1) :
Tabel 1. Perbedaan Fisik antara Kakao Edel dan Kakao Bulk
Kakao mulia/ Edel
Kakao Landak/ Bulk
bentuk buah bulat telur sampai lonjong
Bentuk buah umumnya bulat sampai bulat telur
Warna buah merah muda
Warna buah hijau muda
Biji besar dan bulat
Biji gepeng dan kecil
Berat biji kering lebih dari 1,2 gram
berat biji kering rata-rata 1 gram
Warna kotiledon dominan putih
Warna kotiledon dominant ungu
Kandungan lemak biji kurang dari 56%
kandungan lemak biji mendekati atau lebih dari 56%
Ukuran dan berat biji homogen
Ukuran dan berat biji heterogen
Aroma dan rasa lebih baik
Aroma dan rasa kurang

Struktur buah kakao secar garis besar terdiri dari empat bagian yaitu kulit, plasenta, pulp, dan biji. Buah kakao masak berisi 30-40 biji yang masing-masing diselimuti oleh pulp, sedangkan biji kakao terdiri dari dua bagian yaitu kulit biji dan keping biji. Keping biji meliputi 86% sampai 90% dari berat kering biji sedangkan kulit biji sekitar 10-14% (Syarief, 1988).
Komposisi kimia pulp, keping biji (nib), dan kulit nib dapat dilihat pada tabel berikut ini (Tabel 2 & 3) :
Tabel 2. Komposisi Kimia Pulp Kakao
Komponen
Kandungan (%)
Air
80 – 90
Albuminoid
0.5 – 0.7
Glukosa
8 – 13
Sukrosa
0.4 – 1.0
Pati
sedikit
Asam
0.2 – 0.4
Besi Oksida
0.03
Garam-garam
0.4 – 0.45
Sumber : Nasution (1976).
Tabel 3. Komposis Kimia Biji dan Kulit Biji Kakao

Keping biji (%)
Kulit Biji (%)
Air*
2.1
3.8
Lemak
54.7
3.4
Abu
2.7
8.1
Nitrogen
  • Total N
  • Protein
  • Theobromin
  • Kafein
2.2
1.3
1.4
0.07
2.8
2.1
1.3
0.1
Karbohidrat
  • Glukosa
  • Pati
  • Pektin
  • Serat kasar
  • Selulosa
  • Pentosa
  • Gum
0.1
6.1
4.1
2.1
1.9
1.2
1.8
0.1
-
8.0
18.6
13.7
7.1
9.0
Tanin
  • Asam tanat
  • Cacao purple & brown
2.0
4.2
1.3
2,0
Asam Organik*
  • Asam asetat
  • Asam oksalat
  • Asam sitrat
0.1
0.3
-
0.1
0.3
0.7
*Air dan asam organik mempunyai kadar yang beragam tergantung dari proses pengeringan dan roasting. Sumber Minifie (1999).
Dari tabel 3 terlihat bahwa lemak merupakan komponen terbesar penyusun keping biji kakao. Lemak kakao merupakan jenis lemak yang paling sesuai untuk makanan cokelat, karena memilikikarakterisitk khas yang tidak dimiliki oleh lemak lain. Lemak kakao bewarna kuning pucat , bersifat padat dan rapuh pada suhu di bawah 20°C, mulai melunak pada suhu 30-32°C dan mencair pada suhu sekitar 35°C (Sulistyowati, 1995). Berikut ini asam-asam lemak yang terdapat pada lemak kakao :
Tabel 4. Asam lemak- asam lemak pada lemak kakao
Asam Lemak
Atom Karbon
Ikatan rangakap
%
Miristat
14
0
0.1
Palmitat
16
0
25.8
Palmitoleat
16 : 1
1
0.3
Stearat
18
0
34.5
oleat
18 : 1
1
35.3
Linoleat
18 :2
2
2.9
Arakidat
20
0
1.1
Sumber : Minifie (1989).

Istilah-istilah
Pada umumnya di masyarakat terdapat kerancuan istilah yang berhubungan dengan buah kakao/ cokelat yaitu antara cacao, cocoa, dan chocolate. Menurut Minifie (1999) istilah yang benar adalah :
  • Istilah cacao merupakan istilah untuk bagian yang berhubungan dengan buah dan biji cokelat atau pohonnya, baik berupa biji yang belum maupun yang sudah difermentasi.
  • Istilah cocoa merupakan istilah untuk bentuk produk yang dihasilkan dari biji (yaitu lemak dan bubuk cokelat)
  • Istilah chocolate merupakan istilah untuk hasil olahan cokelat lebih lanjut yang berbentuk padat seperti milk chocolate atau sweet chocolate.
Beberapa istilah penting lainnya berdasarkan SNI 01-3747-1995 antara lain (Anonymousd, 1995):
· Biji kakao adalah biji tanaman kakao (Thebroma cacao L.) yang telah difermentasikan, dibersihkan, dan dikeringkan.
· Keping biji kakao adalah biji kakao yang telah dihilanglan kulitnya.
· Kakao massa adalah produk berbentuk pasta yang diperoleh dari kakao nib(keping biji kakao ) melalaui proses mekanis tanpa menghilangkan kandungan lemaknya.
· Kakao bubuk didefinisikan sebagai produk kakao berbentuk bubuk yang diperoleh dari kakao massa setelah dihilangkan sebagian lemaknya dengan atau tanpa perlakuan alkalisasi.
Menurut Codex Alimentarius, lemak kakao adalah lemak yang dihasilkan dari satu atau lebih berikut ini : biji kakao, nib kakao (keping biji kakao), cocoa liquor (kakao massa/ pasta kasar), bungkil kakao yang dipres secara mekanis maupun penambahan pelarut yang diijinkan. Lemak kakao tidak boleh mengandung lemak kulit biji kakao atau lembaga jika dihasilkan dari biji utuh (Beckett, 1994).

Proses Pengolahan
Penyangraian (Roasting)
Penyangraian merupakan tahapan utama yang harus dilakukan dalam proses produksi bubuk kakao maupun pasta cokelat. Selama penyangraian terjadi reaksi-reaksi kimia pembentukan aroma khas cokelat melalui reaksi Maillard (Jinap et al, 1998).
Metode roasting ada 3 macam yaitu whole bean roasting, nib roasting, dan liquor roasting. Whole bean roasting adalah dilakukannya penyangraian setelah biji kakao dibersihkan. Sedangkan pada nib roasting penyangraian dilakukan setelah biji kakao di-winnowing dan menjadi nib. Dan liquor roasting adalah metode penyangraian setelah biji di winnowing dan dipastakan (di-grinding) sehingga menjadi liquor. Biasanya temperatur yang digunakan untuk penyangraian antara 1100C dan 1400C saat kadar air berkurang sebanyak 3%. Proses penyangraian total lamanya antara 45 menit dan 1 jam. Setelah penyangraian, produk biasanya didinginkan pada pendingin eksternal. Perlakuan suhu tinggi selama roasting diiringi dengan semakin berkurangnya kelembaban pada biji kakao mengakibatkan terbunuhnya mikroba kontaminan seperti Salmonella yang mungkin terkontaminasi pada biji kakao selama pengeringan tanah/di tempat terbuka (Beckett, 1994).
Resiko utama adanya kontaminasi pada biji kakao yang tidak ter-treatment yaitu bahaya yang dibawanya akan ditransfer hingga ke pabrik pengolahan. Dan untuk alasan ini, prosedur pra-penyangraian atau prosedur sebelum proses penyangraian seperi pembersihan biji biasanya dilakukan di gedung yang terpisah (Kleinert, 1996):
1. Perubahan Fisik
Perubahan fisik yang terjadi adalah penurunan berat biji kakao (0,2-0,5% dari berat) karena terjadi penurunan kadar air biji dan terjadi perubahan warna biji kakao menjadi lebih gelap.
2. Perubahan Kimia
Jika biji mendapat perlakuan panas maka akan terjadi reaksi browning non enzimatis yang meliputi reaksi maillard dan karamelisasi.
Secara tradisional biji kakao disangrai dalam batch kecil dengan jumlah biji kakao beberapa ribu kilogram dalam alat penyangrai berbentuk bola.
Operator mesin dapat memindahkan beberapa biji kakao yang telah diproses di mesin penyangrai atau dituangkan ke baki pendingin. Berdasarkan aroma biji kakao yang diinginkan maka diatur temperatur dan waktu yang diperlukan untuk memastikan bahwa flavor yang terbentuk adalah flavor yang tepat (Beckett, 1994).
Mutu produk kakao hasil sangrai ditentukan oleh mutu biji dan kondisi penyangraiannya (Minifie, 1999). Oleh karena itu, penyangraian merupakan proses yang harus benar-benar diperhatikan untuk menghasilkan produk cokelat yang bermutu baik (Hoskin & Dimick, 1997).
Biji kakao bervariasi ukurannya tergantung pada negara asal tempat tumbuh tanaman kakao, kondisi iklim, musim ketika buah dipetik, dan sejumlah faktor lainnya. Ketika kondisi penyangraian telah diatur untuk menentukan ukuran rata-rata biji kakao ternyata biji kakao yang lebih kecil ukurannya mengalami over-roasted dan akibatnya komponen flavor yang terbentuk adalah komponen flavor tidak diinginkan. Sedangkan biji kakao yang lebih besar ternyata kurang cukup tersangrai pada bagian tengahnya akibatnya tidak semua komponen pemicu flavor telah terkonversi dan akibatnya flavor cokelat akan berkurang (Beckett, 1994).
Untuk mengatasi masalah tersebut, ada dua alternatif yang dapat dikembangkan. Pertama, yaitu hanya bagian tengah biji kakao saja yang disangrai, sehingga potongan biji yang terbentuk lebih kecil dan pemanasan dapat lebih mudah menjangkau bagian tengah biji kakao. Metode ini dikenal dengan metode penyangraian nib atau nib roasting. Metode kedua, yaitu dengan mengubah nib kakao menjadi liquor kakao. Pada kakao dalam bentuk liquor lemak coklat telah terbebaskan dari sel-sel dalam biji kakao, sehingga pada kondisi hangat maka bentuknya berubah jadi cair. Cairan ini kemudian dipanaskan dengan proses yang dikenal dengan istilah liquor roasting atau penyangraian liquor. Kedua metode tersebut memerlukan pemisahan kulit atau shell biji kakao sebelum proses penyangraian dilakukan (Beckett, 1994).
Selama proses penyangraian terbentuk 400-500 komponen yang telah diidentifikasi dari bermacam bentuk fraksi volatil dan non-volatil pada cokelat. Komponen tersebut termasuk dalam jenis hidrokarbon, alkohol, aldehid, keton, ester, amina, aksazol, komponen sulfur, and lain-lain (Hoskin & Dimick, 1997).
Pengupasan Kulit Biji Kakao
Komponen biji kakao yang berguna untuk bahan pangan adalah daging biji (nib), sedangkan kulit biji merupakan limbah yanng saat ini banyak dimanfaatkan sebagai campuran pakan ternak (Mulato, dkk, 2005). Sebab, adanya shell atau kulit yang terikut dalam produk cokelat akan memberikan flavor inferior (Beckett, 1994). Oleh karena itu kulit biji perlu dikupas sehingga terpisah antara kulit dengan daging biji kakao (nib kakao).
Winnowing adalah proses untuk memisahkan kulit biji dan beberapa lembaga dari biji. Sesuai namanya, winnowing ini mirip dengan prinsip yang dipakai untuk memisahkan jagung dari tongkolnya pada saat panen (Beckett, 1994).
Hal yang sangat diinginkan dalam proses ini winnowing ini adalah menjaga agar nib tetap dalam potongan besar (bukan berupa serpih kecil) sehingga mudah dipisahkan dari kulit atau shell. Adanya sepotong kecil nib yang masih melekat dengan shell akan ikut terbuang. Oleh karena itu, secara ekonomis sangat penting untuk melakukan proses winnowing dengan tepat dan teliti (Beckett, 1994).
Proses winnowing memiliki titik kritis untuk dua alasan. Pertama ialah kemurnian pada produk akhir. Membuat bubuk kakao bebas dari kulit biji sangat sulit, teknik pemisahan tidaklah sempurna dan batas maksimum kandungan kulit biji pada bubuk kakao adalah 1,75%. Beberapa industri mampu menguranginya sampai 1,5%. Yang kedua ialah profitabilitas. Kandungan nib setelah proses ini haruslah 83-84%, dan mengandung 1-1,75% kulit biji dan kadar air setelah penyangraian sekitar 1,5-3% tergantung dari derajat penyangraian. Kehilangan pada proses ini memiliki efek disproporsional pada harga jual kembali biji (Dand, 1993).
Proses winnowing menghasilkan rata-rata nib 78-80%, kulit biiji 10-12% dengan sejumlah kecil lembaga, dan 4% partikel non kakao sebagai pengotor (Belitz and Grosc, 1999).
Metode pemisahan antara daging dan biji dan kulit biji juga dapat dilakukan dengan metode Desheller dan dilakukan secara mekanis dengan menggunakan mesin. Mesin desheller akan menghasilkan fraksi nib dan fraksi kulit dengan ukuran dan sifat fisik yang berbeda secra bersamaan. Saat membentur silinder pemecah yang berputar, nib akan pecah dengan ukuran yang relatif besar dan seragam karena nib mempunyai sifat elastis. Sebaliknya, kulit biji karena sifatnya rapuh terpecah menjadi partikel-partikel yang halus dan mudah dipisahkan dari butiran nib dengan cara hisapan (pneumatik). Meskipun demikian tidak seluruh butiran nib dapat dipisahkan dari partikel kulit secara sempurna. Presentase kulit terikut nib sebesar 0,6%, sebaliknya presentase nib terikut kulit sebesar 1%. Ukuran rata-rata butiran nib adalah 10 mesh. Partikel-partikel kulit biji diendapkan dalam silikon agar tidak mengotori lingkungan (Mulato, dkk, 2005).
Pemastaan Kasar
Untuk dapat digunakan sebagai bahan baku makanan dan minuman, nib yang semula berbentuk butiran padat kasar harus dihancurkan samapai ukuran tertentu (<20m µ) dan menjadi bentuk pasta cair kental. Proses pemastaan atau penghalusan nib kakao umumnya dilakukan dengan cara penghancuran untuk merubah biji kakao padat menjadi pasta dengan kehalusan butiran 40 mµ dengan menggunakan mesin silinder (Mulato, dkk, 2005).
Lebih dari setengah berat nib adalah lemak, efek dari penghalusan (pemastaan), bersama dengan panas yang terbentuk dari proses penghalusan, menyebabkan nib yang padat menjadi cair, dan akan memadat jika temperatur turun dibawah titik lelehnya. Derajat kehalusan ukuran partikel sangat pentiing. Liquor yang digunakan untuk pembuatan lemak kakao dan bubuk, jika terlalu halus akan sulit untuk dipress. Namun, jika terlalu kasar pengepresan tidak akan sempurna dikarenakan sejumlah lemak masih terjebak dalam struktur sel (Dand, 1993).
Alkalisasi
Umumnya cocoa liquor yang akan digunakan dalam pembuatan bubuk cokelat atau cocoa powder di-alkalisasi terlebih dahulu, tetapi hanya sedikit liquor yang digunakan untuk membuat cokelat diberi perlakuan ini. Adapun proses alkalisasi ini telah dikembangkan di Belanda sejak abad 19 sehingga alkalisasi dikenal juga dengan istilah Dutching Process. Alasan untuk melakukan proses ini adalah untuk meninimalkan terjadinya aglomerasi pada saat cokelat bubuk dilarutkan dengan susu atau air. Kemampuan alkali untuk melakukan hal belum sepenuhnya pasti, tetapi proses alkallisasi jelas mempengaruhi dua aspek dalam cokelat yaitu flavor dan warna (Beckett, 1994).
Menurut Minifie (1999) ada 4 macam cara alkalisasi, yaitu:
1. Alkalisasi biji kakao (whole beans)
Biji kakao di treatment dengan larutan alkali dalam roaster sehingga larutan tersebut akan terserap oleh kulit biji. Namun kerugian proses ini adalah sedikitnya alkali yang terpenetrasi ke dalam nib dan hasilnya pun tak seragam. Biasanya bubuk kakao menjadi berwarna merah cerah.
2. Alkalisai keping biji (nib)
Proses ini menggunakan drum-drum untuk merendam keping biji setelah dilakukan penyangraian. Keping biji direndam dalam larutan alkali hangat (700C) samapai sempurna. Setelah perendaman, keping biji yang basah dikeringkan.
3. Alkalisasi bubur cokelat/ liquor
Perendaman dalam larutan alkali dilakukan terhadap bubur cokelat hasil penggilingan. Alkalisasi ini biasanya dilakukan dalam tangki.
4. Alkalisasi bungkil cokelat/ cocoa cake
Proses ini digunakan untuk bahan dengan kandungan lemak rendah yaitu terhadap bungkil hasil pengepresan.
Kerugian dari alkalisasi adalah adanya lemak kakao pada nib, yang bisa rusak akibat reaksi penyabunan/interesterifikasi (Meursing, 1997). Karena molekul cocoa butter tersusun atas tiga asam yang menempel pada rangka dasar berupa gliserol. Asam ini dapat bereaksi dengan alkali menghasilkan flavor tersabun atau soapy flavor. Untuk mengatasinya, maka sejumlah kecil asam etanoat atau asam tartarat dapat ditambahkan setelah proses alkalisasi yang bertujuan untuk menurunkan pH (Beckett, 1994).
Alasan lain dilakukannya alkalisasi adalah untuk memicu perubahan warna pada kakao akibat adanya reaksi dari senyawa tannin (polihidroksifenol). Dimana senyawa tannin tersebut tersusun atas molekul epikatekin yang selama tahap fermentasi, pengeringan, dan penyangraian saling bersatu, kemudian teroksidasi atau bereaksi dengan komponen kimia lain dalam kakao. Reaksi alkalisasi ini akan meningkatkan jumlah molekul warna dan membuat kakao menjadi lebih gelap. Proses alkalisasi juga memerlukan kehati-hatian dalam mengatur pH, kelembaban, suhu penyangraian, dan lamanya waktu karena ada kemungkinan akan dihasilkannya beraneka macam warna dalam range yang luas (Beckett, 1994).
Pengepresan (Defatted)
Lemak kakao dikeluarkan dari pasta kakao dengan cara dikempa atau di-press. Rendemen pengempaan sangat dipengaruhi oleh kondisi pasta seperti suhu, kadar air, ukuran partikel, dan tekanan kempa. Lemak kakao akan relatif mudah dikempa pada suhu antara 40-450C, kadar air <4% dan ukuran partikel <75mm. pengempaan pasta dilakukan di dalam tabung yang dilengkapi dengan pennyaring 120 mesh dengan tekanan hidrolik sampai 40 atm. Karena tekanan hidrolik, lemak akan terpisah dari pusat dan keluar dari saringan lewat dinding tabung dalam fase cair berwarna putih kekuningan. Jika dibiarkan pada suhu kamar (<370C), lemak kakao akan membeku dan mudah dibentuk. Lemak kakao memiliki sifat khas yakni bersifat plastis. Kandungan senyawa lemak padat relatif tinggi, warna putih-kekuningan dan mempunyai bau khas cokelat.
Lemak kakao banyak diolah untuk produk makanan setelah dicampur dengan pasta, gula, dan bahan-bahan lainnya untuk dibuat menjadi makanan cokelat. Lemak cokelat juga banyak dipakai sebagai bahan baku industri farmasi dan kosmetika. Sedangkan sisa hasil kempaan adalah bungkil padat dengan kandungan lemak berkisar antara 10-22% tergantung pada permintaan konsumen. Bungkil merupakan bahan baku utama pembuatan bubuk cokelat untuk makanan atau minuman. Saat ini dikenal pasar bubuk cokelat dengan 3 tingkatan kadar lemaknya, yaitu kadar lemak rendah (10-12%), medium (13-17%) dan lemak tinggi (>17% sampai 22%) (Mulato, dkk, 2005).
Pengayakan
Bubuk cokelat dihasilakan dari bungkil yang merupakan residu dari pengempaan pasta. Namun untuk mengubah bungkil menjadi bubuk cokelat ada tahapan-tahapan proses yang harus dilalui. Salah satunya adalah tahap pengayakan.
Pada tahap ini padatan bungkil dihaluskan dengan alat pengalus tipe roll. Keberadaan senyawa lemak dalam bungkil sangat berpengaruh pada kinerja dan hasil penghalusan bungkil. Dengna kandungan lemak yang relatif masih tinggi (10-22%), bungkil hanya bisa dilembutkan dengan cara cermat. Jika suhu penghalusan di bawah 34oC, fraksi gliserida di dalam lemak kakao menjadi tidak stabil dan menggumpal kembali membentuk bongkahan (lump). Sebaliknya, jika suhu penghalusan di atas 40oC, lemak akan mencair. Untuk itu, suhu penghalusan harus dikontrol secara cermat agar diperoleh bentuk bubuk yang stabil baik dari baik aspek warna maupun sifat-sifat alirnya (flow ability) (Mulato, dkk, 2005).
Bubuk cokelat yang telah halus diayak untuk memeperoleh ukuran partikel yang seragam dengan menggunkan mesin pengayak dengan menggunakan mesin pengayak tipe getar. Suhu ayakan dikontrol sedemikian rupa agar lemak tidak meleleh dan menutupi lubang-lubang ayakan. Bubuk yang masih kasar (tertinggal di atas ayakan 120 mesh) digiling lagi sampai halus yng lolos ayakan merupakn produk yang siap jual (Mulato, dkk, 2005).
Mixing
Untuk membuat variasi jenis produk, bubuk cokelat halus dapat juga dicampur susu, gula, bahan lain sebagai penyedap (vanila) dengan proporsi tertentu sesuai kesukaan pasar. Proses pencampuran bahan-bahan tersebut dilakukan pada mesin pencampur (Mulato, dkk, 2005).
Pengemasan
Kemasan adalah suatu tempat atau wadah yang digunakan untuk mengemas suatu produk, yang telah dilengkapi dengan tulisan, label dan keterangan lain yang menjelaskan isi, kegunaan lain-lainnya yang dirasa perlu disampaikan kepada konsumen. Kemasan disebut juga pembungkus, wadah atau pengepak yang mempunyai peranan penting di dalam pengawetan bahan pangan (Susanto dan Sucipta, 1994).
Pengemasan bertujuan untuk mempertahankan aroma, citarasa dan sekaligus penampilan produk-produk makanan cokelat ketika diangkut, dijajakan dan disimpan. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keawetan makanan cokelat adalah suhu lingkungan, kelembaban dan kandungan oksigen di dalam kemasan. Uap air di dalam kemasan akan menghidrolisa senyawa kimia yang ada di dalam makanan cokelat dan menyebabkan bau apek (stale). Sedangkan, oksigen akan mengurangi aroma dan ciarasa cokelat karena prose oksidasi. Untuk itu, bahan pengemas harus mempunyai sifat-sifat khusus antara lain mempunyai daya transmisi yang rendah terhadap uap air dan oksigen. Demikian juga mempunyai sifat permeabilitas yang rendah terhadap aroma dan bau.
Beberapa jenis kemasan yang umum adalah plastik transparan, alumunium foil dan kotak kardus. Kemasan juga harus ditutup rapat (seal) dengan perlakuan panas dan tekanan. Usia simpan makanan atau bahan cokelat dapat diperpanjang jika oksigen di dalam kemasan dikurangi ke tingkat yang paling rendah (<1%) atau jika mungkin nol persen. Untuk itu, beberapa jenis kemasan menggunakan sistem vakum (Mulato, dkk,2005).
Berikut ini adalah 6 fungsi utama kemasan antara lain (Susanto dan Sucipta, 1994):
1. Menjaga produk bahan pangan agar tetap bersih dan merupakan pelindung terhadap kotoran dan kontaminasi lain.
2. Melindungi makanan terhadap kerusakan fisik, kaadar air, cahaya.
3. Dapat berfungsi dengan baik, efisien dan ekonomis selama proses penempatan makanan ke dalam wadah kemasan serta mengurangi terjadinya pencemaran, penysutan, tumpah dan tercecernya bahan pangan.
4. Mempunyai kemudahan dalam membuka dan penutupan, mempermudah cara penggunaan produk serta memudahkan dalam tahap-tahap penanganaan melalui gudang dan pengangkutan selama distribusi.
5. Ukuran bentuk dan bobot dari unit wadah (memenuhi standar) mudah dibuang dan mudah dibentuk atau dicetak.
6. Menampakkan identifikasi, informasi dan penampilan serta mencegah pemalsuan yang penting dalam penjualan sehingga meningkatkan daya saing.
Salah satu bentuk kemasan yang biasa dipakai adalah karton. Menurut Susanto dan Sucipta (1994) karton merupakan suatu jenis kertas yang tebal, pada umumnya dipergunakan sebagai bahan pengemas kedua produk pada suatu industri pangan maupun non pangan.
Cokelat biasa dijual dalam berbagai bentuk dimana produk tidak hanya mengandung cokelat saja tetapi juga ada ingredient lain seperti buah, kacang, dan karamel yang mungkin saja dapat mengalami kerusakan selama penyimpanan. Pengemas yang baik untuk produk cokelat harus bersifat memberikan penghalang yang baik bagi cahaya, oksigen, uap air/kelembaban, dan aroma asing selain aroma asli produk (Robertson, 1993).
Beberapa material yang biasa digunakan untuk susu bubuk antara lain; kaleng, berbahan metal, fiber cans dan pengemas laminasi (alumunium foil atau plastik laminating). Saat ini alumunium foil atau plastik laminating telah diperkenalkan untuk menggantikan posisi pengemas kaleng berbahan timah. Model pengemas ini dapat dibentuk, diisi dengan gas, dan disegel atau di-seal dengan menggunakan mesin tunggal dari batang kumparan (reel stock).
Pengisian gas atau gas flushing dilakukan dengan menjenuhkan bahan berbentuk bubuk dengan gas inert dimana tahapan gas flushing tidak dijumpai dalam pengemasan dengan kaleng. Keuntungan utama dengan pengemas tipe laminasi ini biaya yang dibutuhkan lebih rendah dan berat material juga lebih ringan. Namun kekurangan, yaitu bungkus laminaasi ini tidak dapat memiliki kekuatan mekanis dan ketahanan yang cukup lama dan selain itu sulit untuk mendapatkan kepuasan dari proses heat seal dikarenakan kontaminasi yang dapat terjadi pada area heat seal selama proses pengisian powder (Robertson, 1999).

Standar Mutu Bubuk Cokelat Murni dan Minuman Cokelat
Beberapa kriteria mutu bubuk cokelat yang di-alkalisasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini (tabel 7):
Tabel 7. Kriteria Mutu Bubuk Cokelat yang Dialkalisasi

Normal
Limit
Warna
10-24
8-26
Flavor
5,0
7,0
Lemak, %
Sesuai standard
pH
4,8-6,0
4,6-6,2
Abu pada bahan selain lemak kering, %
Max. 13,5
Max. 14,0
Alkalinitas pada abu
Max.175
Max. 175
Kulit nib (shell), %
Max. 1,75
Max. 2,0
Residu ayakan (sieve residue) on 75 µm, %
Max. 0,5
Max. 2,0
Residu logam berat
Disesuaikan dengan Codex Allimentarius atau Peraturan Nasional
Residu pestisida
Mikrobiologis :
Ø Total plate count/g
Ø Mould/g
Ø Yeast/g
Ø Enterobacteriaceae/g
Ø E. coli/g
Ø Salmonella/25 g
Max. 1000
Max. 50
Max. 50
Max. 1
Negatif
Negatif
Max. 20000
Max. 100
Max. 100
Negatif
Negatif
Negatif
Moisture, %
Sesuai standar
Menurut Meursing (1997) ada dua alasan mengapa Salmonella merupakan bentuk bahaya spesifik pada cokelat dan produk yang mengandung bubuk kakao, yaitu:
1. Bakteri Slamonella kemungkinan ada pada biji kakao. Akibat pemanenan, proses fermentasi, dan pengeringan dalam kondisi minim sanitasi di iklim tropis.
2. Bakteri yang terdapat pada cokelat liquor dikelilingi lemak selama proses grinding atau pemastaan kasar berlangsung. Dan adanya lemak akan melindungi bakteri sehingga akibatnya Salmonella dapat tumbuh selama beberapa bulan.

Dikutip dari Proposal PKL @ Puslit Kopi & Kakao
Permen cokelat Yummyyyy ^^
Miuw_inK 

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Sekilas tentang Kakao"

Posting Komentar